“Karena sebagaimana mimpi bagi banyak pengamat burung, ya, ke Papua juga jadi mimpi saya. Dan kini, setelah bertahun menumpuk rindu ini, ke Papua lah saya…”
Penggalan kalimat terakhir dari blog senior saya, ImamTaufiqurrahman yang akhirnya membayar rasa rindunya akan pulau Papua.
Membuat saya ikut berbahagia sekaligus iri, ingin untuk menjejakkan
kaki dan merasakkan sendiri pengalaman disana. Akhirnya selang setahun dari mas Imam, di tahun 2015 kesempatan itu
tiba.
Kalau mas Imam merasakan pulau Papua di bagian barat atau secara administrasi masuk provinsi Papua Barat, saya mendapat pengalaman di tengah pulau Papua sisi utara alias di provinsi Papua.
Saatnya giliran saya untuk berbagi.
Saatnya giliran saya untuk berbagi.
Sarmi bukan Sarimi
Apa yang anda pikirkan tentang Papua?
Pace mace, Cenderawasih, Wamena, Merauke, Jayapura, Puncak
Jaya, Lembah Baliem, Koteka, Suku Asmat, Freeport dan seterusnya. Ada yang
lain?
Pernah dengar atau tahu tentang Sarmi? Mungkin kebanyakan
belum tahu. Oke, jadi akan saya ceritakan disini pengalaman selama hampir dua
bulan tinggal disana.
Sarmi adalah sebuah kabupaten di provinsi Papua, terletak di
sebelah barat Kabupaten Jayapura. Luas daerahnya 17.740 km2, jumlah pendudukpada tahun 2015 sebesar 36.797 jiwa dan kebanyakan orang mencari penghidupan
dari bercocok tanam atau berladang.
Di arah utara daerah ini berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, dan dahulu sebelum tahun
2000an ombak di sepanjang pantai Sarmi terkenal ganas oleh sebab itu kabupaten
ini memiliki julukan Kota Ombak.
Selanjutnya di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten
Jayapura, di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Waropen dan kabupaten
Puncak Jaya serta di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Tolikara.
Peta kota Sarmi dan jalur jalan jalan saya. Sumber: Google Maps |
Keterangan Peta:
- (*) Hotel atau penginapan
- (1) Pantai "banyak sampah"
- (2) Pasar Sore
- (3) Pantai "melihat pulau Liki"
Orang pertama yang menyebut daerah ini dengan nama Sarmi
adalah seorang antropolog berkebangsaan Belanda bernama Van Kouhen Houven, yang
diambil dari sebuah akronim atau singkatan dari 5 huruf pertama suku-suku besar
antara lain Sobey, Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa walaupun kenyataan ada
lebih dari 87 suku yang tinggal.
Download "Biblography Papua" klik disiniProfil lengkap kabupaten Sarmi klik disini.
Kota Ombak
Saya mendapat kesempatan untuk pergi ke Sarmi selama hampir
2 bulan, singkat cerita di suatu sore ketika saya tiba di penginapan kota
kabupaten tersebut setelah menempuh perjalanan darat dari Jayapura selama
kurang lebih 9 jam, saya menyempatkan berkeliling sebelum gelap tanpa
menghiraukan lelahnya perjalanan.
Penginapan: Hotel Narwastu
Ibu kota kabupaten berada di kecamatan Sarmi, sebuah kota
kecil di pinggir samudera Pasifik.
Saya melihat peta di layar handphone dan ternyata bentuk kota Sarmi berupa tanjung dan jarak
pantai terdekat dengan penginapan hanya sekitar 200 meter.
Saya mengambil
pantai yang jaraknya cukup jauh.
Saat itu jalanan cukup ramai kendaraan, terlihat orang-orang
juga menikmati sore hari dengan berkeliling kota.
Dari jalan utama saya belok ke arah kiri mulai memasuki
jalan kecil yang menuju pantai.
Orang-orang yang saya lewati menyapa dan bertanya tentang
asal dan mau kemana.
“Saya dari Jawa, jalan-jalan saja soalnya baru pertama kali
ke Sarmi” jawaban yang sering saya lemparkan kepada orang-orang dengan
pertanyaan yang sama.
Sampah yang berserakan di pinggir pantai kota Sarmi. |
Awalnya saya agak jiper
untuk keliling sendirian, mengingat cap orang papua seram, kasar, bengis dan
hal-hal yang menakutkan lainya.
Namun ternyata cap itu sepertinya sudah usang,
saya pun semakin semangat untuk terus jalan.
Tiba di pantai, sisi bawah matahari belum menyentuh garis
cakrawala namun mulai menimbulkan rona jingga di langit yang biru dengan hiasan
awan lembut. Sedang di bibir pantai, berjajar kapal-kapal nelayan.
Saya sedikit kecewa dengan pemandangan sekitar pantai,
begitu banyak sampah bertebaran.
Sebelum semakin gelap saya lanjutkan jalan-jalan sore, dengan
mengikuti garis pantai ke arah utara ada jalan setapak yang menyambung ke jalan
utama yang ujungnya adalah pantai di lain sisi.
Pasar Sore
Orang-orang semakin banyak dan ramai, banyak sepeda motor
diparkir di pinggir jalan. Setelah barisan motor berganti mace-mace duduk bersama sayur, daging, ikan, dan macam-macam barang
dagangan.
Semacam pasar kaget atau Sunmor
UGM namun isinya dominan bahan makanan pokok, bukan lautan ciwi-ciwi mahasiswa yang memakai baju
tidur atau baju olahraga dengan celana gemas. Haha!
Hape saya nyalakan
untuk merekam kondisi pasar tersebut. Sambil terus berjalan, saya diikuti
pandangan dari berbagai arah, saya hanya melemparkan senyum sambil menyapa
“Sore..” dibalas dengan senyum ramah mereka.
Jalan ini hingga 300 meter ke depan menjadi pasar ketika sore hari. Ikan dan bahan pokok lainnya yang banyak dijual. |
300 meter pasar sudah saya lewati dan sudah tiba di ujung
jalan yang berupa pantai, disini juga tempat sandar untuk kapal nelayan dengan
jumlah yang lebih banyak dibanding tempat sebelumnya.
Ada seorang pria sedang duduk di atas kapal yang ditarik
cukup jauh dari garis pantai. Saya hampiri, kami pun berbincang-bincang.
“Dahulu sebelum tahun 2000an, belum ada jalan raya
penghubung Sarmi deng Jayapura” ujar
beliau sambil menghembuskan asap rokoknya. “Lha
bagaimana orang-orang pergi ke Jayapura?” tanya saya penuh rasa penasaran.
“Naik kapal to,
atau motor lewat pantai” jawabnya.
Naik kapal masih masuk akal walau ombak besar tergantung
kemampuan nahkodanya, tapi kalau naik motor? lewat pinggir pantai?
“Iyo, lewat
pinggir pantai mas. Tunggu ombak
surut lalu lewat di atas pasir yang basah, masih padat. Bukan yang kering.
Kalau ombak mo pasang, minggir dulu biasanya sore sekalian
menginap. Jalan lagi sebentar pagi” Beliau menjelaskan.
Ombak tidak lagi seganas dulu, yang terlihat oleh saya saat
itu adalah laut yang tenang dan teduh. Jalan aspal sudah dibangun jadi orang-orang
tak lagi naik perahu untuk pergi ke Jayapura. Karena banyak korban yang
meninggal mengendarai motor lewat pinggir pantai, tersapu ombak, tenggelam di
muara dan faktor lainnya.
Pantai di salah satu sudut kota Sarmi. Pulau Liki terlihat dari sini di bagian kiri. |
Sebelum saya kembali ke penginapan, saya ditunjukkan sebuah
pulau paling ujung utara di kabupaten Sarmi sekaligus menjadi batas negara
Indonesia. Pulau Liki dan pulau Nirumoar.
Baca profil pulau Liki klik disini.Cerita tentang pulau Liki dari mongabay.
·
Hari sudah mulai gelap, saatnya kembali ke penginapan.
Melewati pasar sore yang masih ramai, kembali menyapa dengan melemparkan senyum
kepada orang-orang Sarmi yang ramah.
Naik dan Turun
Keesokan harinya sekitar pukul 08.00 WIT saya bersama teman
harus segera mengurus perijinan untuk pekerjaan kami selama sebulan ke depan di
tiga desa atau kampung di distrik Bonggo.
Kami harus menuju ke kompleks pemerintahan yang letaknya 17
Km ke arah selatan dari kota.
Setelah semua berkas siap, kami berangkat. Sewaktu di tempat
foto kopi ada istilah baru yang saya dapat mengenai kebiasaan orang disini.
“Mau kemana mas?”
tanya penjaga foto kopi.
“Ke kantor pemerintah pak” jawab saya.
“Oooh naik” kata beliau.
“Naik?” tanya saya bingung.
“Iyo naik, kantor
pemerintah ada di bukit to, jadi torang biasa bilang naik. Kalau pulang
turun baru” Ungkapnya kepada kami.
Berbeda dengan kebanyakan kota di Indonesia yang sudah saya
datangi, kompleks kantor pemerintah di Sarmi menjauhi keramaian. Letaknya
memang di atas bukit, dikelilingi hutan sekunder
Malah, ada teman
saya yang bilang bahwa dia pernah melihat burung Cenderawasih di belakang
kompleks tersebut, serta masih banyak burung di sekitarnya.