9 Tempat Wisata Pacitan dalam 1 Hari !!!

Leave a Comment
Tulisan ini ditujukan untuk anda yang sedang atau berencana pergi ke tempat wisata di Pacitan dengan waktu efektif berlibur hanya 1 hari 1 malam penuh untuk menikmati suasana serta kekhasan tanah air kecilku ini.

9 lokasi dalam sehari??? Emang bisa??? Ugal-ugalan tenan.

Nah, BISA! Bahkan lebih, saya tambah bonus di bawah dengan catatan anda harus siap dengan kondisi tubuh yang prima lalu sebisa mungkin membawa atau menyewa kendaraan sendiri, bisa sepeda motor atau mobil. Lalu, waktu yang dihabiskan di setiap lokasi adalah 1 jam 30 menit hingga 2 jam paling lama.

bukit di pacitan
Pagi di salah satu bukit di Pacitan, kota dan teluk Pacitan terlihat dari sini.

Walau berpredikat kota 1001 Gua, tapi di postingan ini tidak akan mengunjungi gua yang ada di kabupaten ini. Mungkin di lain tulisan akan saya buat ya!

Petunjuk atau rute perjalanan ke setiap lokasi bisa klik disini, dengan syarat ada aplikasi Google Maps di ponsel anda.

Jika space memory hape anda hampir penuh, saya sediakan link ke Google Maps di masing-masing destinasi. Anda juga bisa download file .kml yang bisa di export ke aplikasi Google My Maps lewat desktop atau laptop yang bisa di sinkronkan dengan Google Maps.



Download file .kml peta silahkan klik disini.

Jika mengikuti tulisan ini, anda akan mengunjungi wisata bukit, pantai, kuliner, dan misteri serta sejarah. Penasaran? Yuk kita langsung saja ke destinasi wisata di Pacitan:

Sunrise di Bukit Semar

Lokasi ini bernama bukit Semar yang terletak di desa Ponggok kecamatan Pacitan. Bisa di tempuh dari pusat kota Pacitan kurang lebih selama 20 menit (6,4 Km).

Bukit Semar spot menikmati sunrise di Pacitan
Suasana saat matahari terbit di bukit Semar, Pacitan.

Jelas anda harus bangun pagi. Sebaiknya mulai berangkat pukul 04.00 WIB sehingga saat di lokasi anda punya waktu untuk mencari tempat untuk menikmati matahari terbit, mempersiapkan setting-an kamera, ganti kostum (jika perlu) dan sebagainya.

Silahkan tunggu dan nikmati lansekap kota Pacitan dari ketinggian sejalan dengan naiknya matahari dari balik gunung Limo dan perbukitan di wilayah timur.

Di bulan Juli tahun kemarin saya cukup beruntung mendapati kabut pagi tebal yang menyelimuti bukit dan pedesaan di bawah, selain itu juga pas langitnya cerah. Hanya saja saya sedikit terlambat tiba disana.

Untuk melanjutkan ke destinasi selanjutnya, saya sarankan untuk beranjak dari lokasi ini pada pukul 06.00 WIB, atau mau tetap masih berlama-lama disini juga silahkan. Tapi bagi yang punya waktu sehari di Pacitan, monggo lanjut!

Soto Kebonagung

Setelah menikmati pagi di bukit yang biasanya dingin tentu (biasanya) lapar. Pemberhentian pertama adalah menikmati salah satu kuliner khas Pacitan. Sarapan dulu, tempat-tempat yang dikunjungi masih banyak.

Soto Kebonagung, Pacitan
Menu andalan di warung Marem Soto Ayam Kampung "Soto Kebonagung" .Foto: adasatu.com

Terletak di kecamatan Kebonagung tepat di depan kantor kecamatan, 7,8 Km tenggara dari pusat kota. Waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 30 menit dari Bukit Semar. Bernama warung "Marem Soto Ayam Kampung", tapi oleh kebanyakan orang lebih dikenal singkat dengan soto Kebonagung karena tempatnya berada di kecamatan Kebonagung.

Menikmati soto mangkuk besar bertabur ayam kampung goreng gurih ditambah kacang goreng, dan bagi saya yang khas itu adalah kecap gula aren Pacitannya plus sambel pedas serta jangan lupa juga kerupuk nasi yang ukurannya sebesar kipas, cukup untuk mengisi energi anda meneruskan perjalanan.

Sembari menunggu makanan turun ke perut anda bisa leyeh-leyeh sambil menikmati pemandangan terasering sawah di seberang warung tepat di belakang kantor kecamatan.

Jangan sampai ngantuk dan ketiduran, bayar dan lanjut!

Pantai Soge 

Selama kurang lebih 45 menit anda akan berkendara di Jalur Lintas Selatan (JLS) menuju pantai Soge. Hiburan di perjalanan adalah hutan pantai, sawah dan lanskap pantai selatan. Jangan lengah, tetap hati-hati berkendara.

Pemandangan pantai Soge dari Jalur Lintas Selatan, Pacitan
Panorama pantai Soge dari pinggir Jalur Lintas Selatan. Foto: @fajrima

Menjelang tiba, anda akan melewati turunan lalu perlahan-lahan di sebelah kanan anda akan terlihat jelas samudera Hindia dan pantai Soge di depan anda. Biasanya kebanyakan orang akan berhenti di tepi jalan sebelah kanan atau selatan untuk mmengambil gambar seluruh lanskap pantai Soge. Cobalah dan hati-hati ketika menyeberang.

Semenjak dibukanya JLS yang menghubungkan dengan kabupaten Trenggalek, pantai ini menjadi semakin ramai dikunjungi wisatawan dan mulai banyak warung-warung makan di kiri-kanan jalan. Mungkin yang tidak sempat sarapan atau pantang makan soto ayam kampung, bisa sarapan di sekitar pantai ini.

Puas menikmati panorama pantai ini mari lanjut lagi. Ada sebuah jembatan (katanya) khas yang ramai orang nongkrong dan berswafoto tiap pagi dan sore di akhir minggu. Anda akan melewatinya untuk menuju ke tempat selanjutnya, singgah sebentar jepret dan berlalu.

Jembatan Soge, Pacitan
Pemandangan laguna pantai Soge dari jembatan Soge. Foto: @arudewangga

Pantai Taman

15 menit berkendara ke arah timur anda akan tiba di pantai Taman, desa Hadiwarno kecamatan Ngadirojo. Di lokasi ini ada tempat penangkaran penyu dan Flying Fox terpanjang se Indonesia Raya.

Pantai selatan pulau Jawa merupakan salah satu tempat bertelur untuk Penyu. Sepanjang garis pantai selatan Jawa, pantai Taman ternyata juga di jadikan lokasi bertelur bagi penyu, terutama jenis Penyu Hijau Chelonia mydas, Penyu Sisik Eretmochelys imbricata, Penyu Lekang Lepidochelys olivacea dan Penyu belimbing Dermochelys coriacea. 

Warga mendirikan tempat penangkaran untuk memindahkan telur yang ada di pantai ke tempat penetasan untuk meningkatkan keberhasilan telur menetas yang selanjutnya tukik penyu akan dilepaskan kembali ke laut. Jika beruntung anda bisa melihat dan ikut melepaskan penyu.

Flying fox di Pantai Taman, Pacitan
Flying fox dengan jalur terpanjang di Indonesia ada di pantai Taman, Pacitan .Foto: @erviandyugianata

Adrenalin anda mungkin akan terpacu meluncur sejauh hampir setengah kilometer (tepatnya 415 meter) dari tebing sebelah barat setinggi 74 meter dengan kecepatan meluncur 50 Km/jam, waktu ditempuh rata-rata 30 detik. Bagi anda yang mempunyai berat badan berlebih, tidak usah khawatir. Alat yang digunakan aman dan kuat, mampu menahan beban hingga 2,5 ton.

Pantai Pidakan

Masih mengikuti panduan ini? Maka kemungkinan anda tiba di pantai ini saat siang hari, Kala erik dan panasnya matahari. Pohon-pohon kelapa nan banyak juga tinggi-tinggi cukup untuk menghalau dan menaungi anda. Tak perlu kuatir gosong.

Bagi yang sering ke pantai dengan dasar pasir, anda akan menemukan hal baru di pantai Pidakan yang dasar pantainya berupa batu berukuran 15cm an didominasi warna putih. Apik wis!

Pantai Pidakan, Pacitan
Dasar pantai berupa batu krakal bulat adalah salah satu keunikan dari pantai Pidakan, Pacitan

Berlokasi di desa Jetak kecamatan Tulakan, di sebelah barat dari pantai Soge. Garis pantainya pun relatif datar dan panjang, dipadu dengan rindang pohon di sekitarnya membuat pantai ini terlihat masih alami.

Warung Makan Bu Gandhos

Berwisata ke daerah pesisir kurang afdhol rasanya kalau tidak mencicip makanan dari hasil lautnya.

Nah, untuk makan siang saya sarankan mencoba masakan kuliner laut di dekat pelabuhan dan tempat pelelangan ikan Pacitan.

Menu makanan di warung makan Sari Laut bu Gandos, Pacitan
Menu makanan di warung makan Sari Laut bu Gandos, Pacitan. Foto: Tripadvisor

Dari lokasi sebelumnya anda membutuhkan waktu perjalanan sekitar 1 jam lebih 15 menit, menempuh jarak sekitar 27 Km. Lumayan lama, tapi anda akan terpuaskan dengan hidangan ikan segar dari perairan laut Pacitan. Pesanlah nasi thiwul dan sambel bawang sebagai pelengkapnya serta es kelapa muda. Maknyus top markotop

Pemandangan dari warung makan bu Gandhos juga tak kalah memanjakan mata, sambil menyantap makanan anda bisa melihat teluk Pacitan dari sini serta kesibukan nelayan di pelabuhan.

Monumen Cinta

Selanjutnya mengunjungi sebuah kuburan bernama Monumen Cinta. Ada sebuah kuburan tepatnya Mausoleum bernuansa Eropa di kompleks pemakaman Kucur desa Sidoarjo kecamatan Pacitan. Entah kenapa ketika saya mencari lokasi tersebut di Google Maps kok bernama Monumen Cinta.

Monumen cinta pacitan
Mausoleum bergaya Eropa di kompleks pemakaman Kucur desa Sidoarjo kecamatan Pacitan

Ternyata ada sebuah cerita tentang kisah percintaan dari almarhum yang bersemayam di kuburan tersebut. Dia adalah Djamiyah, seorang gadis Jawa yang menurut sumber dan cerita orang lokal bersuamikan (masih dugaan) tuan tanah dari Belanda yang bekerja di sekitaran Madiun pada masa kolonialisme.

Si suami membuatkan kuburan khusus, serta di makam tersebut dituliskan puisi cinta untuk almarhum menggunakan sandi Vigenere Klasik yang diperkirakan digunakan pertama kali oleh Julius Caesar dan cukup populer pada awal abad ke 19.

sandi Vigenere Klasik di Monumen Cinta, Pacitan
Sandi Vigenere Klasik tertulis di makam Djamiyah.

Banyak misteri yang belum tersingkap dari makam ini, terutama tentang siapa suami dari almarhum Djamiyah yang bersemayam di makam tersebut. Selengkapnya anda bisa baca cerita tersebut disini.

Pancer Door

Merupakan bagian dari teluk Pacitan di bagian sisi timur dekat dengan muara sungai Grindulu. Lokasi melihat sunset favorit saya ketika pulang kampung. Berada di selatan pusat kota sekitar 6 Kilometer, dari lokasi sebelumnya sekitar 15 menit.

Dari sini tidak akan terlihat matahari tenggelam di laut, melainkan di bukit sebelah barat yang seperti membentengi kota Pacitan. Tapi suasana dan pemandangannya tak kalah deh dari tempat sunset populer yang lain.

Seorang peselancar yang akan memulai bermain ombak di pancer Door, Pacitan.

Bagi wisatawan manca negara khususnya peselancar, Pancer Door cukup dikenal dan anda bisa melihat peselancar dari luar dan dalam negeri "mengendarai" ombak dengan papan selancarnya.

Setiap sore hari, pasti akan ramai dengan pengunjung, khususnya warga lokal untuk sekedar jalan-jalan bersama keluarga, mengantar anak bermain di pantai, pacaran atau ngopi di warung terdekat.

Event surfing skala nasional bahkan internasional cukup sering dihelat disini, contohnya Hello Pacitan pada Agustus 2016 merupakan rangkaian dari kompetisi berskala internasional pada kontes tahapan kelima dalam Asian Surfing Championships (ASC) 2016 untuk grade 2 divisi pria dan grade 1 divisi wanita. Surfer-surfer terbaik di Asia bersaing menjadi yang terbaik di salah satu spotsurfing terbaik di Jawa Timur itu.

Makan dan Menikmati Malam

Silahkan kembali ke penginapan untuk mandi dan ganti baju, lalu saatnya makan malam dan nongkrong menikmati malam di kabupaten paling barat Jawa Timur ini. Menu untuk malam saya sarankan untuk mencoba Sego Gobyos di dekat perempatan penceng. Ini cocok bagi anda yang doyan dengan makanan pedas. Babat, usus, daging ayam, ikan laut, telur semuanya dengan kuah santan ditambah kuah sambal pedas akan membuat malam anda kemringet bin gobyos. Huhaah!

Untuk harga satu porsi di warung Sego Gobyos tergolong terjangkau, mulai dari Rp7.000/porsi hingga Rp15.000/porsi.

Kalau tidak cocok dengan makanan pedas anda bisa mencoba warung dengan makanan khas nasi urap, kikil, dan soto khas Pacitan di Warung Makan Sugiati yang terletak di jalan Pacitan-Tulakan desa Menadi kecamatan Pacitan.

Usai makan, jika anda pecinta kopi single originan bisa mencoba ke kedai Mik Kopi 10 menit dari terminal bus Pacitan. Kopi dari daerah-daerah Nusantara juga kopi lokal dengan harga yang sangat terjangkau bisa anda nikmati. Secangkir kopi tubruk dibandrol dengan harga 9.000 rupiah.

Suka dengan keramaian, monggo ke alun-alun Pacitan. Berjejer puluhan kaki lima bisa anda coba untuk menghabiskan malam. Saya sarankan untuk mencoba Warung Tanlun mbah Geger dengan menu andalan jadah bakar di adu dengan gula pasir atau tahu bakar dengan sambel kecap.

***


Selesai sudah daftar lokasi-lokasi wisata di Pacitan dalam satu hari. Sekali lagi saya tuliskan ini adalah trip ugal-ugalan! Tapi ya ndak apa kalau ndelalah sampeyan ternyata ke Pacitan dan hanya punya satu hari yang bisa dimanfaatkan untuk dolan dengan mengunjungi banyak lokasi. Mungkin tulisan saya ini bisa dipraktekkan.

Berani coba? Segera rencakan untuk berlibur ke Pacitan. Selamat mencoba dan berlibur!Jangan lupa share ya...!!! :)


Cerita MOP Papua, Tertawa Sampe Bodo

2 comments

Pace sedang berkunjung ke kota Jayapura, mengunjungi dong pu anak yang sudah lama menetap disana.

Tiba di pelabuhan, pace disambut anak beserta menantu dan cucunya. Langsung diajaklah pace berkeliling kota naik OTO (mobil atau kendaraan sejenis). Pace terpukau melihat gedung, kendaraan lalu-lalang, pusat perbelanjaan dan semua hal yang tidak ada di kampungnya.

“Tuhangalaa, Jayapura memaaang. Rumah-rumah besar baru tinggi e, itu dorang keluarga besarka?”

“Itu bukan rumah pace, itu Mall. Tempat dorang baku jual-beli”

OTO yang dikendarai melewati sebuah polisi tidur. Karena asyik mengobrol, sopir lupa melambatkan laju kendaraan sehingga seluruh penumpang terpental ke atas. Terutama pace yang heran dan kaget dengan kejadian itu.

“Jjjiii…. kenapa e? ko lindas sesuatu ka?”

“Aaahh, itu polisi tidur saja, trapapa”

“Jjjiiii, kenapa tidur di jalan? Eh anak, kasih bangun sudah mungkin dia mabo”.

 * * *
Salah satu dari sekian banyak cerita lucu khususnya yang masih bisa saya ingat ketika berkunjung ke Papua, tepatnya saat berkumpul bersama masyarakat lokal. Berbagi cerita atau kejadian-kejadian lucu di kalangan masyarakat Maluku, Papua dan sekitarnya biasa disebut mop.

Menunggu MOP Papua di Podena, Kabupaten Sarmi Papua
Siap tertawa oleh MOP Papua ketika berkumpul bersama warga di distrik Podena, Kabupaten Sarmi

Singkat cerita di tahun 2015 akhirnya saya bisa menjejakkan kaki di bumi Cendrewasih itu, dalam rangka mengikuti sebuah penelitian dari salah satu lembaga negara. Dalam kegiatan tersebut, masyarakat lokal sering dilibatkan sebagai penunjuk jalan, tenaga lokal bahkan penyemangat dengan humor-humor khasnya.

Walau berperangai seram, tapi sejatinya mereka adalah orang berkarakter periang dan lugu. Tak ayal memang banyak peristiwa dari keluguan orang Papua yang berbuah menjadi mop, seperti kisah di awal tulisan ini.

Pandangan saya pastilah objektif dari kunjungan hanya di daerah pesisir saja. Saya tidak berani berpandangan tentang masyarakat di pegunungan, walau sudah banyak cerita tentang kehidupan dan karakter masyarakatnya.

Di tahun 2017, sangat bersyukur karena bisa menjejakkan kaki lagi di pulau tersebut namun beda provinsi yaitu Papua Barat.

Saya kesana masih dalam hal yang sama dengan 2 tahun sebelumnya. Sebelum pergi ke lapangan, ada kegiatan kelas yang harus diikuti. Kelas tak pernah sepi dengan hiburan dari kawan-kawan Papua Barat untuk maju dan menceritakan Mop.

Berikut satu moment yang sempat saya rekam:


* * *
Ada sebuah kisah tentang keluguan orang Wamena yang baru saja membeli OTO atau mobil. Saking senangnya ia ajak kawannya untuk mencoba kendaraan tersebut.

Keasyikannya tersebut selesai ketika mobil kehabisan bahan bakar lalu berhenti. Pace yang punya mobil berujar kepada kawannya.

"Kawan, mari tong balik jalan ke rumah e. Ini mobil selesai sudah, pabrik hanya membuat sampai sini saja" Lalu mereka pun berjalan pulang.

Saya kurang tahu pasti, kisah tersebut hanya karangan atau nyata.Masyarakat pesisir memandang salah satunya orang Wamena, adalah orang Papua paling lugu. Saya tidak bermaksud rasis sama sekali, hanya bersyukur betapa beranekaragam dan uniknya negeri ini. Tidak hanya biodiversitasnya saja.

Mari lanjut ke cerita selanjutnya.
* * * 

MAKANAN ITU BERKAH

Silas baru saja pulang dari sekolah siang hari dan terlihat lesu karena lapar. Langsung ia menuju dapur mencari mamanya.

“Mama sa lapar e”

“Hei anak, ko ganti baju cuci tangan baru ko makan!”

“Baik mama” Langsung Silas bergegas mengikuti perintah mama, begitu selesai ia langsung kembali menuju dapur.

“Mama ada masak apa e?”

“Pace belum kasih mama uang, jadi ko makan seadanya dolo. Itu makanan mama taruh di meja makan!”

“Adoh mama, sayur daun papaya lagi!?”

“Eeehh anak jang ko mengeluh pada makanan, tidak baik. Bersyukur baru.”

“Tapi mama, tadi malam sayur daun papaya kemarin juga. Sa bosan”

“Cukimai, anak kurang ajar!!! Makan sudah!!! Ada makanan itu berkah!”

“Ah mama, trada berkah yang pahit”

* * *
Toleransi antar umat beragama sangat baik. Contohnya jika ada hari raya Natal, teman atau kerabat yang beragama lain akan di undang untuk hadir dengan jamuan yang disesuaikan. Begitu sebaliknya jika umat muslim merayakan hari raya Idhul Fitri, teman dan kerabat yang beragama nasrani atau lainnya akan datang berkunjung saling maaf memaafkan, serta makan bersama menu lebaran.

Ada suatu kisah tentang bapak pendeta dan bapak haji di suatu kampung. Mereka sedang berjalan pulang bersama seusai menghadiri rapat desa.

Rumah mereka satu arah yang sama dan harus menyeberang sebuah kali yang kedalamannya se-perut orang dewasa. Kebetulan jembatan sedang rusak dan mau tak mau mereka harus berbasah-basah melintas kali.

“Bapa, sa gendong sudah e”

“Ah tidak pak haji, sa saja yang gendong. Mari!”

“Eeee… Sa masih muda bapa, mari sudah!

“Sebentar pak haji, bukan masalah tong muda atau tua”

“Baru???”

“Apa kata dorang di kampung nanti, trada ceritanya Pendeta Naik Haji”.

* * *

Beberapa guyonannya terdengar cerdas, dan kadang malah membuat bingung jika kita tidak mengerti dialektiknya. Seperti kisah di bawah ini.

Tiba di rumah anaknya, tete (panggilan untuk kakek) bercengkerama dengan cucunya. Su lama pace tra bertemu jadi melepas kangen sambil bercerita di teras rumah.

“Tete, sa pijit kaki tete boleh? Pasti Tete capek to”

“Tuhaaaree, cucu tete baik sekali ee.”

“Kata pace, dulu tete sering merantau ka?”

“Iyo, itu sudah”

“Baru, tete pu kaki ini sudah injak tanah mana?”

“Adoooh, banyak”

“Sumatera sudah ka?”

“Sumatera tete su injak”

“Jawa?”

“Ah itu sering”

“Baru, Bali?”

“Bali sudah”

“Kalimantan?”

“Adooh, ko cerewet memang. Kalimantan juga sudah, Sulawesi, Ambon, sampeeee Flores sudah tete injak.”

“Baru yang belum pernah tete injak?”

“Yang tete belum pernah injak, batang ko pu leher!!!”


Orang Papua sering menyingkat kata dalam percakapannya sehari-hari. Contohnya, saya menjadi sa, coba menjadi co, emang penting menjadi epen, cukup penting toh menjadi cupen, hingga kalimat yang panjang pun juga disingkat.

Ada sebuah kisah tentang pace yang kebun lemon miliknya sering kecurian. Padahal pagar sudah mengelilingi kebun lemon tersebut. Hingga saat panen berikutnya, lemon miliknya masih saja dicuri orang.

Pace pun naik pitam lalu ia membuat papan peringatan untuk mencegah para pencuri masuk. Ia mencari papan di sekitar kebun, akhirnya ia hanya mendapatkan papan dengan panjang 60 cm dan lebar sekitar 30 cm.

Pace memasang papan tersebut tergantung di pintu masuk kebun miliknya. Selesai terpasang, ada orang Jawa lewat dan menyapa pace yang masih terlihat marah.

"Selamat sore pace, sedang buat apaka?"

"Sore mas, sa baru selesai pasang papan peringatan buat dorang pencuri cukimai"

"Ooohh, tapi pace tulis apa itu?"

"Ah itu, gara-gara sa bisa dapat papan pendek memang. Sa tulis singkat padat dan jelas DILAPETELEPETELELEPU"

"Artinya apa pace?"

"Ah itu dorang pasti tahu mas, artinya DILARANG PETIK LEMON, PETIK LEMON LEHER PUTUS!"

* * *
Susah sekali untuk mengubah mop menjadi sebuah tulisan. Mop akan 'pecah' ketika dibawakan langsung oleh orang Papua sendiri dengan logat, aksen, emosi, gerak tubuh  dan suasana mendukung lainnya.

Jangan lewatkan kesempatan anda untuk berkumpul dengan masyarakat lokal saat berkunjung ke Maluku, Papua dan sekitarnya. Cobalah untuk membawa sirih pinang, "cemilan" khas yang umumnya disukai. Anda akan cepat diterima dan segera mendengar orang-orang saling bertukar Mop yang bisa membuat tertawa sampeeeee bodo'.

Di Balik Paper: Catatan Pertama Cerek Kalung-besar Untuk Indonesia

Leave a Comment
Sudah cukup lama saya ingin menulis ulang paper saya di blog ini, terinspirasi tentu oleh guru saya kak Imam. Selain itu, siapa sih yang baca paper ilmiah? Lewat tulisan ini semoga melunakkan bahasa dan bahasan untuk kalangan yang lebih luas.

Sebelumnya burung Cerek Kalung-besar yang bernama ilmiah Charadrius hiaticula belum pernah tercatat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. haha

Burung ini berkembang biak di Greenland dan Eurasia bagian utara, pada saat musim dingin kebanyakan populasinya akan bermigrasi ke daerah Afrika. Namun, sebagian populasi juga nyasar ke berbagai wilayah di Asia khususnya Asia Tenggara seperti Myanmar barat daya dan Thailand barat laut (Robson 2000), Vietnam (Pilgrim et al. 2009), Thai-Malay Peninsula (Wells 1999), Singapura (Wells 1999; Wang & Hails 2007).

Cerek Kalung Besar Charadrius hiaticula taken in Indonesia
Foto pertama Cerek Kalung-besar Charadrius hiaticula (tengah) untuk Indonesia. Copyright Shaim Basyari

Di pulau Kalimantan pernah tercatat, tapi bukan NKRI melainkan di Brunei Darusalam dan Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia (Mann 2008). Bahkan burung ini tercatat hingga Australia (BirdLife Australia Rarities Committee 2016). Indonesia terlewatkan?

Jadi Ceritanya...

Hingga akhirnya pada 20 Oktober 2013 tiga orang selo menjumpainya di muara kali Progo, perbatasan kabupaten Bantul dan Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Saya, Shaim dan Wahab kala itu sedang mengamati burung pantai migran. Awalnya kami memperhatikan grup Cerek Jawa, Kedidi Leher-merah, Trinil Pembalik-batu dan Cerek Pasir-besar. Ada seekor yang menarik perhatian dengan ukurannya yang hampir sebesar Cerek Pasir-besar namun paruh lebih pendek dan alis mata putih tegas.

Saya yang membawa kamera enggan memotret dengan mengambil jarak yang dekat. Karena saya tahu diri dengan ukuran tubuh yang besar pasti akan gagal mendapatkan foto dalam jarak yang dekat.

Akhirnya Shaim lah yang menerima tugas mendekat dengan cara merayap bak biawak ke kawanan burung tersebut. Sementara saya dan  Wahab mengarahkan dari pinggir kali memakai teropong sambil berteriak layaknya tukang parkir.

Shaim sudah berada dalam jarak sekitar 10 meter dari burung Cerek misterius tersebut, dengan asumsi lensa prosumer perbesaran setara dengan lensa tele 800mm pastilah hasilnya akan close up. Sekitar setengah jam terlewati, lalu ia kembali ke arah pinggir. Saat itu juga kami melihat jepretannya dan bayangan hasil foto yang up pun runtuh seketika. Ternyata kamera tidak di zoom dengan maksimal, hanya 126 mm saja. Wooh jian ndlogok.



Namun kami coba zoom di display kamera tersebut, sembari melihat buku panduan yang kami bawa. Burung ini mirip dengan Cerek Kalung-kecil namun ukurannya lebih besar. Tetapi lebih kecil dengan Cerek Pasir-besar yang berada di sampingnya. Dibandingkan dengan Cerek Kalung-kecil, paruh burung ini pendek dan tebal; garis bulu dada lebih tebal, alis mata putih lebih panjang; kaki berwarna oranye dan tidak memiliki garis orbital mata. Entah kenapa kami optimis seketika bahwa itu Cerek Kalung-besar.

Sepulangnya langsung share temuan tersebut ke pakar yang fesbukan. Sampai diskusi mengenai jenis ini mencapai mufakat, well saatnya publikasi.

Lalu Kholil, Wahab dan mas Zul pada 01 Desember 2013 di lokasi yang sama mencatat 5 ekor jenis yang sama. Ketika Kholil mencoba mendekat untuk mengambil gambar, burung ini terbang sambal bersuara “tuu iit, tuu iit”, yang mirip dengan alarm call sesuai deskripsi dari Hayman et al. (1986) dan Robson (2000) yakni “too-li” dan “tooweep”. Saat burung ini terbang corak putih pada sayap terlihat.

Dengan tambahan informasi tersebut kami mulai membuat draft tulisan.

Hingga manuscript pertama selesai, saya langsung kirimkan ke jurnal KUKILA. Ada cita-cita pribadi kenapa saya memilih jurnal ini, sebuah alasan konyol jikalau saya mendapat temuan pertama untuk Indonesia akan saya terbitkan di Jurnal ornitologi milik Indonesia tapi kepala editor dan sebagian besar editornya asing. Piye menurutmu?


Tiga tahun lamanya proses penyusunan penulisan dan revisi di jurnal tersebut dengan reviewer salah satunya adalah kepala editornya langsung yang ndadak dan nyusu-nyusu untuk revisi. Singkatnya paper temuan Cerek Kalung-besar pertama untuk Indonesia masuk di jurnal tersebut di edisi ke 19 tahun 2016.

Paper bisa diunduh di sini


Sitasi

Wibowo, K.W., S. Basyari, W.F. Andono, A.Z. Abdullah & I. Kholil. 2016. First Indonesian Record of Common Ringed Plover Charadrius hiaticula. Kukila 19: 39-41.

Sumber Bacaan:

BirdLife Australia Rarities Committee. 2016. BirdLife Australia Rarity Committee. Available
from:
http://birdlife.org.au/conservation/science/rarities-committee (Accessed 13 April 2016).

Hayman, P.J., J. Marchant & T. Prater. 1986. Shorebirds: An Identification Guide to the Waders
of the World
. Hougton Mifflin Co., Boston.

MacKinnon, J. & K. Phillipps. 1993.
A Field Guide to the Birds of Borneo, Sumatra, Java and
Bali
. Oxford University Press Inc., New York.

Mann, C.F. 2008.
The Birds of Borneo. B.O.U. Checklist 23. British Ornithologists’ Union and
British Ornithologists’ Club, London.


Pengamat Burung Indonesia. 2014.
https://web.facebook.com/groups/PengamatBurungIndonesia.
Piersma, T.& P. Wiersma. 1996. Charadridae (Plovers). Pp. 384-443 in J. del Hoyo, A. Elliot & J.
Sargatal (eds).
Handbook of the Birds of the World. Vol. 3. Hoatzin to Auks. Lynx Edicions,
Barcelona.


Pilgrim, J.D., P. Bijlmakers, A. Crutchley, G. Crutchley, T. de Bruyn & A.W. Tordoff. 2009.
Common Ringed Plover
Charadrius hiaticula and Black-headed Bunting Emberiza
melanocephala
: new records for Vietnam. Forktail 25: 155-158.

Robson, C. 2000. A
Field Guide to the Birds of South-east Asia. New Holland, London.

Sukmantoro, W., M. Irham, W. Novarino, F. Hasudungan, N. Kemp & M. Muchtar. 2007.
Daftar
Burung Indonesia no. 2
.
Indonesian Ornithologist’s Union, Bogor.

Wang, L.K.& C.J. Hails. 2007. An annotated Checklist of the birds of Singapore.
The Raffles
Bulletin of Zoology
Suppl. 15: 1-179.

Wells, D.R. 1999.
The Birds of the Thai-Malay Peninsula, vol. 1, Non-Passerines. Academic
Press, London.




 

Contact Form

Name

Email *

Message *