Hari sudah menjelang siang pun matahari sudah hampir tepat di atas kepala kala kami sampai, setelah naik ojek dari pasar melewati ladang karet dengan jalan kampung berbatu tak ramah bagi pantatmu. Suara rekaman es krim keliling, lagu anak era 90an dari odong-odong menyongsong telinga kami. Ramai sekali manusia bersama kendaraan, anaknya, istri/suaminya, kakek/neneknya, baju, celana, uang, dan semua hal tak penting bagimu untuk tahu karena kalian pembaca tak ikut denganku kecuali Shaim kawanku hari itu di tempat itu pergi bersamaku sekali lagi di tempat itu hari itu Desember yang 2015 masehi. Langit cerah sedikit berawan, suasana tepat kala liburan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung.
"Minta uang buat beliin rokok pawangku, biar aku dikasih pacar" Ujar Gajah galau dengan bahasa Gajah. |
Pusat Pelatihan Gajah
Tepatnya kami tiba di Pusat Pelatihan Gajah (selanjutnya disingkat PLG) Taman Nasional Way Kambas. “Asu nyasar rek!” umpatku namun tak membuat marah bapak ojek yang mengantarkanku, karena saya misuh di dalam hati, mana mungkin dia dengar, kecuali Tuhan. Seharusnya saya dan Shaim tiba di Plang Ijo pintu gerbang hutan lindung ini, gara-gara mobil travel yang kami kendarai dari Pelabuhan Bakauheni hanya berani mengantar sampai pasar Way Jepara dan saat keluar mobil travel, preman pasar sudah nyegat kemaki membuat kami undlap-undlup . Agak pasrah mengikuti tawarannya untuk mengantar kami ke dalam menggunakan motor brodhol ra karuan. Yowis terima saja, entoh ini Lampung Timur bung terkenal sebagai lokasi paling rawan seantero jagat per-gentho-nan provinsi Lampung (isin karo brewok). “Nggak apa-apa im, entoh tinggal dibalik aja rencana kita!” ujarku ke Shaim dengan bahasa Jawa dan sudah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tidak EYD, agar engkau paham pembaca yang memuliakan saya. #Dibacok
Kami langsung menuju warung makan di dekat lahan parkir
sekedar melepas dahaga yang sedari tadi menetap di kerongkongan, sekalian
bertanya-jawab dengan penjualnya serta berharap penjualnya embak-embak cantik lagi manis manja grup. Semoga, Amin.
Dua biji kelapa muda dengan es pakai gula merah kami pesan.
Penjualnya ternyata sudah empok-empok dalam
bahasa betawi (terjemahkan sendiri). Ramah, sopan, enak diajak tanya-jawab tapi
minta uang setelah kelapanya kami minum. Ajaibnya si empok ini bisa berbahasa Jawa, “Njenengan
keren mpok eh bu!” ujarku yang tak
membuat dia GeEr karena sekali lagi
saya berucap di dalam hati. Singkat cerita kami sudah bertanya banyak hal
mengenai transmigrasi orang Jawa, Gajah dan pawangnya, ongkos transport di
Lampung, hingga tempat menginap disini.
Gajah di kandang, sampai gendut ia akan makan terus. Di Way Kambas. |
Senja di Pusat Pelatihan Gajah Way Kambas
Hari sudah mulai sore, masih cerah tapi tidak terik. Pepohonan banyak di lahan parkir ini mobil juga, masih banyak orang, pedagang mainan dan rumput. Saya dan Shaim pergi ke Gajah yang sedang di kelilingi banyak orang untuk berfoto bersama, bersama Gajah bukan dengan saya. Di dekatnya ada pria setengah baya berpawakan gemuk macam Kentung Tuyul dan Mbak Yul. Brewok seperti saya, kami menghampirinya untuk menanyakan tempat menginap. Namanya pak Dedy pake “y” sepertinya dan dibaca Dedi, bukan Dedy Dores. Dia pak Dedy pawang gajah, berwujud manusia. Akan susah bertanya jika ia bukan manusia.
“Wah pak bagaimana kabarnya? Katanya sudah jadi lurah?”
pertanyaan itu melintas dipikaran saya namun urung saya sampaikan karena baru
pertama ketemu, enggak enak mau sok
akrab. Lalu kami pun bertanya mengenai tadi apa saya lupa, oh iya tempat
menginap. “Bisa, nanti saya siapkan!” jawabnya “Mau bareng kami (pawang Gajah)
atau bagaimana?” terusnya. “Manut mawon pak”
kataku yang berarti terserah pak. Tempat menginap beres, saatnya jalan-jalan di
sekitar PLG, motret Gajah, motret Mahmud Abas (Mamah Muda Anak Baru Satu), pemandanangan,
dan tentu saja cari dan motret burung.
Hari sudah senja, matahari sudah hampir tiba di peraduannya.
Sinarnya redup jingga, tertutup awan ngeselin
karena menghalangi suasana menjadi oranye. Kami sudah di dekat kandang Gajah
berupa lapangan atau padang rumput lengkap dengan Gajahnya bukan kambing atau
bahkan sapi. Di dekat kandang Gajah ada bendungan tertutup tanaman air menjadi
seperti hamparan rawa yang luas. Aku dan Shaim disana bersama rerumputan yang
tak bisa kami ajak bicara. Oh Lampung, oh Way Kambas ini sudah petang, bilakah besok berganti hari kita akan
berjumpa lagi? Hei Gajah kenapa belalaimu panjang, sedang para pembaca pria
tidak. Kasihan, ajari mereka wahai Gajah. Gajah malam nanti bagaimana engkau
tidur? Sudah aku capek.
Ditulis sambil makan
kerupuk sambal di bulan Februari 2016 masehi.
0 Komentar:
Post a Comment