Nggambleh: Tentang Misuh

2 comments
Aku: “Jiancuk, isih urip ta? Nang ndi ae sampeyan?” 
Kowe: “Asu, gak gablek duit cuk. Iki wae mari ngutang”
Aku: “Yowis, ndang tukokno aku kopi”
Kowe: “Asuuuu, rokok sisan a?”
Aku: “Ngono dadak takon”
Kowe: “Dhapurmu cuk, yoh”
Asu: “Opo cuk maeng celuk-celuk jenengku?”

Terdengar kasar tapi tak ada satupun dari kami yang merasa tersinggung jika umpatan, cacian, pisuhan dan segala kebun binatang keluar dari mulut. Saat kami berkumpul sekedar untuk nongkrong, nonton film, ngopi, diskusi  atau segala hal yang bisa mempertemukan aku dan teman-teman. Khususnya ya Juki, Shaim, Nurdin, Wahab, Adin, Mas Abhe, Munifah, Ndal Fian, Pak Sigit, Pak Bas, Mas Swiss, Mas Imam, Budek, dan seterusnya dan seterusnya.


Misuh

Atau mengumpat dalam bahasa Indonesia menyatu dalam kehidupan orang Jawa. Segala kalangan, tatanan sosial, tingkatan umur punya caranya sendiri. Ada yang terdengar halus, ada yang terdengar sangat kasar. Gaya pun berbeda antara Jawa bagian Timur, Tengah dan Barat. Pesisir, daratan dan pegunungan. Umumnya orang pesisir Jawa lebih keras dan kasar semakin ke arah gunung  akan terdengar semakin halus. Ini berdasarkan obrolan dengan Nurdin dan analisis pekok saya. Kalau tak percaya coba buktikan jika kawan-kawan pergi ke daerah pesisir, di pasar atau keramaian. Coba amati dan dengarkan dan bandingkan jika pergi ke daerah pegunungan di Jawa. Orang pesisir sejak dulu sering berhadapan dengan orang asing yang datang dan bercampur dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bahasanya pun menjadi sederhana, simple dan mudah diterima. Tidak berbelit-belit, tas-tes. Beda dengan orang pegunungan, bahasanya halus tapi muter-muter atau akeh basa basine. Saya campuran ketiganya, Ibu orang pegunungan, Bapak pesisir. Kok loro jare telu? Jadi Bapak itu orangtuanya dari daratan lalu pindah ke daerah pesisir, jadi begitu bapak punya dua infiltrasi gaya bahasa dan bisa saya lihat dan pelajari.

Pengalaman dari kecil

Bicara kasar sudah sering saya dengar mulai dari kecil, preman desa bahkan orangtua saya. Teman sebaya di desa dan saya sering diajari bicara kasar oleh gentho-gentho ini. Mengadu kami untuk mengejek satu sama lain, misuhi sama lain. Tak elak kadang terjadi perkelahian. Tentu saja gentho-gentho ini akan ngguyu sak kayange, namun hal ini menjadikan kami lebih kenal satu sama lain bahkan dengan si gentho. Bukan berarti orangtua mengajarkan hal yang tidak baik, mereka menunjukkan kapan, dimana, dengan siapa engkau boleh misuh atau bicara pada konteksnya. Misalnya ketika menjelaskan suatu kejadian berkaitan dengan alat kelamin, Ibu saya tanpa tedeng aling-aling menyebutnya dengan gamblang tidak berbelit-belit langsung pada anunya, ya karena itu nama anunya itu tadi.

 Obrolan berisi misuh

Misuh atau mengumpat adalah hal dimana kita menyebut sesuatu yang rendah, hina, jelek dst namun sebenarnya disadari atau tidak sesorang tak mau menjadi rendah, hina, jelek dst seperti yang disebut. Misal, saat temanmu misuhi “Asu pekok sampeyan!!”, sebenarnya ia mendoakan anda agar tidak rendah seperti anjing dan juga agar tidak pekok atau bodoh . Pun juga saat misuhi diri sendiri.

Misuh itu bahasa kemesraan antara manusia satu dengan yang lain. Coba lihat temanmu yang sering misuhi kancane tapi masih bisa ngopi, dolan bareng, diskusi, haha hihi haha hihi. Ada kan? Seberapa dekat kau mengenal kawanmu, sahabatmu? Coba pisuhi ia sekarang.


Penutup, ini adalah cuplikan obrolan saya dengan mas Batak:
Mas Batak: "Kuh mreneo!"
Aku: "Opo mas?"
Mas Batak: "Kowe ki jan-jane iso mlebu surgo"
Aku: "Amin, suwun mas"
Mas Batak: "Ning cangkemmu ki lak bosok, dadi cangkemmu ora diolehi malaikat melu, ditinggal ning njobo"
Aku: "Dadi aku mlebu surgo ning ra cangkeman?"
Mas Batak: " Iyo, hahahahaha"
Aku: "Asuuuu"

Ditulis setelah berak, masih di bulan Februari 2016 masehi.

Related Article

2 comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *